Manusia memiliki kebutuhan esensial yang harus terpenuhi sebagai elemen dasar
hirarki kebutuhannya, hal tersebut diutarakan oleh seorang tokoh psikologi asal
Amerika Serikat yang bernama Abraham Maslow. Kebutuhan akan makanan merupakan
kebutuhan tingkat pertama dan utama bagi mempertahankan hidup dan kehidupan
manusia. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan hidup manusia yang paling dasar dan
setiap manusia memerlukannya tanpa kecuali. Oleh karenanya kebutuhan akan
makanan harus terpenuhi lebih dahulu sebelum kebutuhan lainnya dapat dipenuhi.
Makanan adalah semua bahan dalam bentuk olahan yang dimakan manusia kecuali air
dan obat-obatan. Makanan menurut KBBI ialah sesuatu yang dapat dikonsumsi
(seperti bahan panganan dan lauk-pauk) serta semua bahan yang telah kita makan
akan membentuk jaringan tubuh, memberikan sumber tenaga dan mengatur semua
proses di dalam tubuh. Dari pengertian tersebut semua bahan olahan yang dimakan
oleh manusia kecuali air dan obat-obatan disebut makanan, terlepas makanan
tersebut adalah makanan pokok, makanan pelengkap ataupun camilan.
Indonesia
merupakan negara yang terkenal dengan kekayaan budaya di dalamnya, hal tersebut
membuat Indonesia memiliki keragaman kuliner yang sangat bervariasi di setiap
daerahnya. Hal ini menjadikan Indonesia layak dianugerahi negara yang memiliki
keanekaragaman makanan tradisional atau food diversity.
Makanan kuliner
Indonesia merupakan kekayaan dan potensi yang harus dilestarikan dan
dikembangkan, bahkan jika ditarik lebih jauh makanan sebagai sebuah produk
budaya dapat direpresentasikan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam
bentuk ekonomi kreatif. Sandiaga Salahudin Uno dalam sebuah pernyataannya
menangkap potensi besar makanan tradisional dapat berkontribusi ekonomi kepada
masyarakat melalui jalur wisata kuliner. Salah satu ragam kuliner Indonesia yang
sudah tidak asing di telinga dan memiliki cita rasa manis, kenyal, dan lengket
adalah dodol.
Sejarah dodol di Indonesia
Makanan tradisional di Indonesia merupakan produk kebudayaan sebuah komunitas
masyarakat di masing-masing daerah. Sebagai sebuah produk budaya maka produk
makanan tidak terlepas dari mitos, tradisi, strata sosial, interaksi sosial dan
asimilasi kebudayaan lain di Indonesia. Sehigga makanan tradisional Indonesia
tidak semata-mata terkait kebutuhan fisiologis namun integrasi dengan filosofis
atau kearifan lokal suatu daerah yang mengkonstruksi tata nilai masyarakatnya.
Dodol merupakan salah satu makanan tradisional yang mudah dijumpai di beberapa
daerah di Indonesia. Dodol memiliki rasa manis gurih, berwarna cokelat, tekstur
lunak, dan digolongkan sebagai makanan semi basah. Produk olahan dodol digemari
oleh masyarakat karena memiliki variasi rasa dan harga terjangkau. Banyak
sebutan yang identik dengan dodol, seperti nian gao atau dalam dialek Hokkian
disebut ti kwe atau kue keranjang. Masyarakat Jawa Barat menyebutnya dengan
wajit, jenang istilah bagi masyarakat Jawa Tengah (konon sudah dikenal sejak
zaman kerajaan Hindu Budha di Jawa), masyarakat di Sumatera Selatan menyebutnya
dengan lempok, gelinak sebutan bagi masyarakat di Pulau Bangka dan beragam nama
lain di berbagai daerah di Indonesia.
Tradisi membuat dodol di Indonesia
dahulunya untuk menyambut hari besar keagamaan. Dalam tradisi Jawa,
menghidangkan jenang/dodol pada perayaan 1 Suro (1 Muharam) yang merupakan
perayaan tahun baru Islam. Masyarakat Jawa menganggap jenang ini memiliki simbol
rasa syukur kepada Tuhan menghadapi tahun baru dan sebagai ungkapan doa
penyerahan diri untuk keselamatan dan keberkahan. Sedangkan bagi suku Betawi di
Jakarta, keluarga yang membuat dodol adalah simbolisasi strata sosial yang akan
dihormati oleh masyarakat sekitar.
Terlepas apapun yang menjadi latar belakang
tradisi pembuatan dodol di beberapa daerah di Indonesia, yang menjadi menarik
adalah kesamaan bentuk, bahan baku, cara pengolahan yang sama dalam pembuatan
dan juga cita rasanya. Menjadi pertanyaan besar ketika pada zaman kerajaan Hindu
Budha belum tersedianya alat komunikasi yang canggih, namun bisa mempengaruhi
olahan makanan di daerah Nusantara lainnya. Jawabannya adalah teori yang
dikemukakan oleh psikolog Amerika Serikat yang bernama Granville Stanley Hall.
Stanley Hall mengemukakan sebuah teori yang dikenal dengan teori atavistis, yang
berasal dari kata 'atavus' yang bermakna 'nenek moyang'. Jadi atavistis artinya
kembali kepada sifat-sifat nenek moyang di masa lalu. Dalam pengertian sederhana
bahwa sifat nenek moyang bangsa Indonesia adalah senang bekerja sama dan
bergotongroyong dengan pembagian tugas yang jelas antara tugas yang dilakukan
laki-laki dan tugas yang dilakukan oleh perempuan. Hal itu dapat terlihat dari
proses pembuatan dodol yang membutuhkan waktu lama, bahan-bahan yang tidak
sedikit, serta bahan bakar pembakaran/kayu bakar yang banyak. Proses pembuatan
dodol biasanya melibatkan beberapa keluarga ataupun kelompok masyarakat.
Mengenal Dodol Kranggan
Indonesia dikenal sebagai negara dengan suku, bahasa daerah, serta budaya yang
sangat banyak jumlahnya. Keberagaman merupakan sebuah keunggulan dari tanah air
kita ini. Sejalan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, macam macam kuliner khas
Nusantara banyak ditemui di berbagai daerah. Berbagai jenis dodol bisa ditemukan
nyaris setiap sudut di negeri ini. Setidaknya ada belasan jenis dodol yang cukup
dikenal di Indonesia, diantaranya: dodol Garut, dodol Betawi, dodol
durian/lempok, dodol Bali, dodol labu kuning, dodol kandangan, dodol rumput
laut, dodol salak, dodol susu, dodol jahe, dodol sirsak, dodol apel Malang,
dodol nangka, dodol kentang, dodol Cina, dodol Ulame dan masih banyak lagi.
Melipir menuju pinggiran Kota Bekasi tepatnya di Kecamatan Jatisampurna
Kelurahan Jatiraden tepatnya di Gang Nangka terdapat satu-satunya pembuat dodol
tradisional. Warga setempat kerap menyebutnya dodol Kranggan Nyak Sami.
Perempuan paruh baya itu masih terlihat segar dan bersahabat dalam menceritakan
usahanya. Dalam penuturannya Nyak Sami melanjutkan usaha yang dirintis secara
turun temurun oleh keluarganya sejak puluhan tahun lalu. Walaupun sudah banyak
ditemui proses pembuatan dan pengemasan dodol yang dilakukan dengan menggunakan
alat modern, namun Nyak Sami tetap mempertahankan proses secara tradisional.
Melanjutkan penuturannya, Nyak Sami mengatakan untuk membuat dodol 1 kuali
besar memerlukan bahan 20 liter beras ketan, gula merah 15 Kg, gula putih 5 Kg,
bawang goreng, garam, dan kelapa secukupnya. Dalam satu kali produksi, Nyak Sami
memerlukan sedikitnya empat orang laki-laki yang membantu dalam pengadukan dodol
(warga Kranggan menyebutnya ngocek) dan tiga orang perempuan untuk membantu
proses penyiapan bahan serta proses pengemasan. Nyak Sami mengungkapkan bahwa
pekerja yang membantu mengaduk dodol (ngocek) adalah pekerja paruh waktu (kuli
ngocek) yang dibayar tiga ratus ribu rupiah per satu kuali besar. Namun biasanya
Nyak Sami membuat dodol dalam jumlah empat kuali besar, sehingga biaya untuk
membayar kuli ngocek sudah sebesar satu juta dua ratus ribu rupiah. Biaya
tersebut belum termasuk pengeluaran untuk makan dan minum bagi para kuli ngocek.
Dalam proses pengemasan Nyak Sami dibantu oleh tiga orang perempuan yang masih
bagian dari keluarga. Terkadang suami dari Nyak Sami yaitu pak Boih ikut
membantu dalam pengemasan. Lelaki yang sudah tampak sepuh itu tidak mau
dipanggil Kakek, beliau lebih familiar dipanggil Bang Boih. Bang Boih saat masih
muda sering membantu mengocek dodol buatan istrinya. Namun karena kondisi
fisiknya sudah tidak seperti saat muda, kali ini Bang Boih lebih memilih
membantu istrinya untuk pengemasan. Proses pengemasan yang dilakukan juga masih
menggunakan cara tradisional. Dodol dikemas sesuai dengan permintaan konsumen,
kadang konsumen meminta dodol dikemas menggunakan daun pisang batu (pisang
biji). Alasan menggunakan daun pisang batu dengan lugasnya Bang Boih menuturkan
karena daun pisang batu tidak luntur warnanya dan daunnya juga lebih tebal
dibandingkan dengan daun pisang yang lainnya. Terkadang juga konsumen meminta
dodol dikemas dalam kemasan plastik bundar (warga Kranggan menyebut dengan
besek). Konsumen dari dodol Kranggan Nyak Sami biasanya dari keluarga calon
pengantin untuk acara seserahan. Namun permintaan akan meningkat ketika memasuki
bulan Ramadhan karena warga Kranggan menyambut hari raya Idul Fitri dengan
membuat dodol untuk buah tangan silaturahmi kepada keluarga besarnya.
Proses
promosi dodol Kranggan tidak dilakukan secara modern, orang Kranggan dan
sekitarnya hanya mengetahui dari mulut ke mulut yang dalam dunia marketing
disebut Word of Mouth Marketing atau WOMM. Nyak Sami menuturkan bahwa sekitar
tahun 90an dodol buatannya pernah diliput oleh salah satu stasiun televisi
swasta yaitu TPI (Televisi Pendidikan Indonesia).
Solusi Melestarikan Tradisi
Inovasi menjadi hal terpenting di era persaingan bisnis kuliner seperti saat
ini. Stephen Robbins (1994), mendefinisikan inovasi sebagai suatu gagasan baru
yang diterapkan untuk memprakarsai atau memperbaiki suatu produk atau proses dan
jasa.
Dalam era globalisasi ini seorang wirausahawan dituntut agar bisa terus
berinovasi dengan menghadirkan hal yang baru, unik, efisien, dan lebih baik dari
produk sebelumnya. Inovasi dodol Kranggan dapat dilakukan mulai dari proses
pembuatan, pengemasan, dan juga pemasaran. Dalam inovasi pembuatan dodol
Kranggan perlu mempertimbangkan varian rasa yang lebih inovatif, tidak melulu
cita rasa yang sudah ada. Misalnya dodol Kranggan rasa stroberi, rasa nangka,
pisang, dll. Pengemasan juga merupakan hal penting dalam mempertahankan mutu
dodol. Penggunaan edible coating dalam pengemasan dodol dapat meningkatkan
kualitas dan memperpanjang umur simpan dodol (Gennadios, dkk., 1997). Edible
coating merupakan lapisan tipis yang terbuat dari bahan yang dapat dikonsumsi,
yang diaplikasikan pada produk pangan secara langsung (permukaan produk) yang
memiliki fungsi sebagai penahan (barrier) dari perpindahan massa seperti: uap
air, O2, dan CO2 (Baldwin, dkk, 2012).
Dalam hal pemasaran sebaiknya dodol
Kranggan perlu mempertimbangkan digital marketing. Digital marketing adalah
aktivitas mempromosikan dan mencarikan pasar melalui media digital secara online
dengan menggunakan berbagai sarana seperti jejaring sosial (Purwana, dkk 2017).
Digital marketing dodol Kranggan dapat dilakukan dengan membuat video untuk
iklan, membuat website, atau dengan cara yang lebih sederhana yaitu membuat
flyer.
Dukungan Pemerintah Kota Bekasi juga perlu dilakukan agar dodol Kranggan
tetap lestari. Pada suatu kesempatan dalam peresmian Yayasan Peduli Kranggan di
Kelurahan Jatirangga, anggota DPRD Kota Bekasi Anim Imanudin menyatakan bahwa ke
depannya akan dibuat kegiatan Festival Kranggan yang bertujuan untuk mengenalkan
tradisi, budaya, kesenian, dan juga kuliner khas Kranggan kepada masyarakat
Bekasi secara luas dan daerah perbatasan lainnya (Jakarta, Depok, dan Bogor).
Adaptasi menjadi salah satu kunci sukses yang diyakini harus dimiliki setiap
pelaku usaha. Terlebih di zaman globalisasi dan digitalisasi seperti sekarang,
sikap adaptif mutlak harus dimiliki pelaku usaha kuliner khususnya dodol. Hal
tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Charles Robert Darwin "Bukan
yang terkuat yang bertahan, melainkan mereka yang paling adaptif menghadapi
perubahan." Dodol Kranggan mungkin belum banyak dikenal oleh masyarakat secara
luas. Proses pembuatan dan pengemasan yang masih dilakukan secara tradisional,
juga strategi pemasaran yang dilakukan secara organik menjadikan dodol Kranggan
hanya dikenal oleh sebagian masyarakat. Namun apresiasi positif perlu disematkan
kepada Nyak Sami sebagai satu-satunya pelaku usaha dodol di Kranggan. Dari
segala tantangan globalisasi dan digitalisasi pemasaran saat ini, Nyak Sami
tetap bertahan di tengah modernisasi industri kuliner.
Penulis: Amin Muzaki
(Guru SD Labschool Cibubur)
Daftar pustaka:
1
Stephen P. Robbins & Timothy A. Judge (2008) Perilaku Organisasi Edisi
ke-12, Jakarta: Salemba Empat.
2 Defri
Ikhsan (2017,h1) Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2003
3 https://kbbi.web.id/
4 Liputan6.com
5 Zulkifli L, Psikologi Perkembangan, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2002), cet.IX
6
Robbins, Stephen P., 1994. Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Aplikasi,
Alih Bahasa Jusuf Udaya,
Jakarta, Arca
7 Gennadios, A., Hanna, M. A., dan Kurth, L. B. 1997. Application of Edible Coating
on Meats, Poultry
and Seafoods: a Review. LWT Food
Science and Technology, Vol. 30:
337– 350.
8 http://e-journal.uajy.ac.id/12582/3/BL012802.pdf
9 Purwana, D., Rahmi, R., & Aditya,
S. 2017. Pemanfaatan Digital Marketing Bagi Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah
(UMKM) di Kelurahan Malaka Sari, Duren
Sawit. Jurnal Pemberdayaan Masyarakat Madani (JPMM).
10 Darwin, C. (1959). The Origin
of Species by Means of Natural Selection. London: John Murray
0 komentar:
Posting Komentar